MELAYANI SEGALA MACAM LIPUTAN VIDEO & PHOTO

Sabtu, 04 Desember 2010

Seputar Dunia Movie

Jenis-jenis Kamera Movie

Perkembangan teknologi kamera movie (sebutan untuk kamera gambar gerak) sangatlah pesat. Sejak ditemukan pada paruh kedua abad 19 hingga kini telah berkembang berbagai tipe kamera movie dari berbagai produsen. Penggolongan berdasarkan merek dan tipe sangatlah banyak dan rumit. Penggolongan biasanya didasarkan pada system kerja dan format media penyimpan.
Berdasarakan sistem kerja kamera movie terbagai menjadi dua yakni:

  1. kamera mekanik
  2. kamera elektronik

Kamera elektronik sendiri dibagi menjadi kamera elektronik analog dan kamera elektronik digital. Kamera mekanik adalah kamera yang tidak melibatkan rangkaian elektronik. Kamera bekerja dengan tenaga manusia, atau tenaga pegas. Di akhir generasi kamera mekanik sudah menggunakan batery sebagai penggerak rangkaian mekanik. Kamera mekanik menggunakan pita selluloid (film positif) sebagai media penyimpan gambar. Kamera elektronik analog (kemudian disebut kamere analog) adalah kamera yang sistem kerjanya menggunakan rangkaian elektronik. Cahaya yang masuk ke ruang lensa ditangkap oleh kepingan CCD (charge couple device ), sejenis chip elektronik peka cahaya, berfungsi mengubah cahaya menjadi arus listrik dengan kekuatan yang berbeda-beda sehingga merepresentasikan tiga warna dasar yakni red, green, dan blue (RGB). Dengan rangkaian elektronik pula arus listrik yang mereprentasikan RGB ini diubah menjadi muatan maknet. Muatan magnet inilah yang kemudian disimpan pada pita magnetik atau pita video (video tape). Sejak inilah dipopulerkan istilah video untuk menyebut unsur visual yang dihasilkan secara elektronik.

Kamera elektronik digital (kemudian disebut kamera digital) mirip dengan kamera elektronik analog. Bedanya pada proses penyimpanan. Cahaya yang telah diubah menjadi arus listrik diubah lagi menjadi data digital (data biner). Pada kamera analog intensitas warna dan suara ditentukan oleh kuat lemah muatan magnetik, sedang pada kamera digital intensitas warna maupun suara ditentukan oleh data biner hasil olahan perangkat keras dan perangkat lunak.

Perbedaan kamera digital dengan kamera analog juga terlihat pada kestabilan data video pada proses reproduksi. Muatan magnet (data analog) pada pita magnetik akan terus berkurang sesuai dengan frekuensi reproduksi. Hal ini tidak terjadi pada data digital. Berapa kalipun data digital dikopi tak akan mengalami pengurangan kualitas. Kita bisa menganalogikan proses reproduksi data digital dengan pengkopian file di disket.


Mengenal Format Film

Penggolongan jenis kamera juga bisa didasarkan pada format media penyimpan yang digunakan. Ada dua shooting format yang ada yakni film dan video. Hingga periode 1980-an, perbedaan format memunculkan dua kelompok, kelompok film dan kelompok video yang tak saling berurusan satu sama lain. Kelompok film pengguna pita selluloid nyaris tak pernah menyentuh ranah video. Sementara itu kelompok video menghasilkan karyanya tanpa pernah mengenal film. Selama dua puluh tahun terakhir, format video mengalami perkembangan pesat sehingga saat ini dimungkinkan kedua kelompok tersebut melebur jadi satu dalam memproduksi film.

Pada awalnya teknologi video dianggap teknologi kelas dua dalam memproduksi sebuah film. Teknologi editingnya masih mengandalkan sistem analog dan tape to tape (dari pita kaset ke pita kaset). Sistem ini mempunyai kelemahan, yakni menurunnya kualitas gambar saat dilakukan pemindahan gambar dari satu kaset ke kaset lain. Sistem ini mulai ditinggalkan orang ketika sistem digital (dengan kode binernya) bisa dipakai untuk menyimpan data dari pita ke komputer, populer lewat mesin AVID sejak 1989. Penurunan kualitas tidak terjadi lagi. Semua gambar dalam pita hasil rekaman dipindahkan dan disimpan di komputer dalam bentuk digital. Proses editing dilakukan di komputer, tidak lagi dari pita ke pita. Bahkan, kemudian ditemukan kaset yang pitanya mampu menyimpan gambar dalam bentuk digital. Perkembangan teknologi digital saat ini memungkinkan seseorang untuk melakukan shooting dengan format film, melakukan editing dalam format video dan menayangkan hasilnya dalam format film. Hampir semua film Hollywood diproduksi dengan cara ini. Umumnya shooting dilakukan dengan film 35 mm dan diedit dalam format video menggunakan komputer dan aneka perangkat lunak (software) canggih. Sebaliknya, banyak para pembuat film pemula melakukan shooting dan editing dalam format video kemudian menayangkan (termasuk menjual) karyanya dalam format video atau film 16 mm atau 35 mm. Kemungkinan ‘kawin silang’ dua format ini menuntut para pembuat film untuk memahami kedua medium tersebut dengan baik.

Ukuran Fisik Film
Film pertama kali lahir di paruh kedua abad 19, dibuat dengan bahan dasar selluloid yang sangat mudah terbakar, bahkan oleh percikan abu rokok sekalipun. Sesuai perjalanan waktu, para ahli berlomba-lomba untuk menyempurnakan film agar lebih aman, lebih mudah diproduksi, dan enak ditonton. Saat ini ada tiga macam ukuran film yang diproduksi secara massal, yakni 35 mm, 16 mm, dan 8 mm. Angka-angka tersebut menunjukkan lebarnya pita seluloid. Semakin lebar pita seluloid, semakin baik pula kualitas gambar yang dihasilkan. Untuk keperluan khusus, film 65 mm dan 70 mm bisa digunakan. Film yang ditayangkan di Teater IMAX Taman Mini Indonesia Indah (TMII) adalah contoh film yang diproduksi dan ditayangkan dalam format 65 mm yang telah disempurnakan (IMAX). Hamlet (1996) karya sutradara Kenneth Branagh diproduksi dengan film format 65 mm. Kualitas gambar yang dihasilkan lebih baik ketimbang format 35 mm yang lazim ditayangkan di gedung bioskop. Namun, semakin lebar pita selluloid, semakin langka pula alat perekam dan alat proyeksi yang tersedia. Kamera dan proyektor untuk ukuran 65 mm dan 70 mm bukanlah jenis yang banyak tersedia di pasaran, yang berarti juga biayanya semakin mahal. Alat editing untuk format tersebut pun berbeda. Karenanya, penting untuk anda ingat bahwa lebar pita film menentukan jenis kamera, alat editing, dan alat proyeksi yang dipakai.

Format Movie
Video, format berbahan dasar pita magnetik ini mulai dikenal luas di seluruh dunia pada paruh kedua periode 1970-an, baik untuk keperluan profesional seperti stasiun televisi maupun keperluan pribadi. Pita magnetik yang terdapat dalam kaset video bisa merekam gambar dan suara dengan baik, sementara film hanya dapat merekam gambar. Untuk suara digunakan medium rekam lain, semisal DAT (digital audio tape). Kelemahan sistem analognya membuat pemakaian video untuk keperluan profesional terhambat.

Di periode tahun 1960 sampai 1980, nyaris semua stasiun televisi di dunia (termasuk TVRI yang mulai beroperasi tahun1962) menggunakan kamera 16 mm untuk merekam program acaranya. Mereka juga memiliki sendiri studio pemroses film 16 mm berikut mesin editingnya. Hal ini tidak ditemui di stasiun televisi swasta nasional Indonesia yang baru beroperasi di era 1990-an. Dimulai dengan RCTI tahun1989, SCTV dan TPI tahun 1990. Di kala itu, video sudah lazim digunakan untuk keperluan produksi dan editing materi tayangan televisi. Seperti juga film, video punya berbagai jenis untuk berbagai keperluan yaitu U Matic, Betacam SP, Digital Betacam, Betamax, VHS, S-VHS, Mini DV, DV, DVCAM, DVCPRO. U Matic merupakan jenis video profesional untuk keperluan televisi sampai era 1980-an. Begitu format Betacam SP yang kualitasnya jauh lebih baik masuk ke Indonesia di kurun waktu 1990-an, U Matic pun ditinggalkan orang. Menjamurnya jenis Betacam SP juga didukung oleh perkembangan alat editing yang memakai teknologi digital. Digital Betacam muncul menyempurnakan format Betacam SP dengan teknologi digital, umumnya digunakan untuk keperluan iklan televisi. Sementara, untuk keperluan pribadi format video kerap dipakai menggunakan alat yang populer dikenal sebagai handycam. Betamax dan VHS adalah jenis awal dari sejarah perkembangan tontonan video di rumah (home video). Sejalan dengan perkembangan zaman, Betamax tidak lagi diproduksi, sehingga VHS menjadi satu-satunya jenis video untuk keperluan home video. Kemudian muncul S-VHS sebagai penyempurna VHS. Kualitas S-VHS lebih baik dibandingkan dengan VHS sehingga sering digunakan untuk keperluan semi profesional seperti dokumentasi pernikahan. Sekalipun demikian, kualitasnya masih jauh tertinggal dibandingkan dengan Betacam SP. Seiring dengan perjalanan waktu, kemudahan pengoperasian kamera menjadi salah satu faktor penting dalam memilih format video, khususnya untuk pasar kaum nonprofesional alias awam.

Semenjak tahun 1995, pasar dunia mulai dibanjiri dengan teknologi DV (digital video). Format yang masuk kategori DV adalah Mini DV, DV, DVCAM, dan DVCPRO. Teknologi Mini DV, DV, dan DVCAM dikembangkan dan dipopulerkan di Indonesia oleh Sony Corporation. Sedangkan DVCPRO dikembangkan oleh Panasonic. Dari keempat format ini, Mini DV adalah yang terpopuler karena ukuran kameranya yang kecil, ringan, dan sangat mudah dioperasikan. Kualitas lebih baik bisa diperoleh dari jenis DV, dengan ukuran kamera dan kaset yang lebih besar dibandingkan Mini DV. Ketimbang Mini DV, DV bisa merekam gambar dengan lebih tajam. Kemudian DVCAM datang dan menyempurnakan teknologi DV. Dengan kamera dan ukuran kaset yang lebih kecil dan ringan dibandingkan Digital Betacam, DVCAM mampu menghasilkan gambar yang boleh dibilang setara dengan Digital Betacam yang jadi langganan kaum profesional. Sampai saat ini, format DVCAM masih sangat jarang dipakai di Indonesia karena harga kamera yang relatif mahal dan jenis kaset yang tidak kompatibel dengan format yang telah ada, Digital Betacam. Selain soal jenis, kompatibilitas juga mesti dipertimbangkan.

Format yang dikembangkan oleh Panasonic yakni DVCPRO tidak kompatibel dengan ketiga format lain yang dikembangkan oleh Sony Corporation. Artinya, baik kamera maupun player DVCPRO tidak bisa digunakan untuk merekam dan memutar ulang format selain DVCPRO, begitu juga sebaliknya. Di Indonesia, stasiun televisi Metro TV menggunakan format DVCPRO untuk merekam gambar, sementara penayangannya menggunakan format Betacam.

Perkembangan mutakhir dari teknologi video adalah HDTV (hi definition television). Format ini masih sangat jarang dipakai di dunia. Format ini adalah upaya kelompok video untuk mensejajarkan diri dengan kualitas gambar yang menjadi keunggulan film. Kelak semua televisi di dunia akan menggunakan format ini. Jepang telah memulai menggunakannya secara terbatas. Konon, kabarnya George Lucas akan memproduksi film terbarunya dengan menggunakan HDTV.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkah Berkomentar tentang artikel ini ^_^